Penakluk Lelah di Puncak Sumeru
Mendaki gunung memang bukanlah hal mudah layaknya teori. Dalam mendaki, terlebih untuk sampai ke puncak, setiap individu akan didorong hingga limit akhir. Mental, fisik kekompakan tim dan persipan awal menjadi penentu keberhasilan muncak. Saya melakukan pendakian bersama 8 orang teman, berikut perjalanan kami dalam mengekplore tanahnya parah dewa, Mahameru
ERLIN MARFIANSYA,S.Pd
Perjalanan di mulai saat saya bersama 5 orang lainnya bertolak dari Provinsi Bengkulu menuju Jakarta. Satu jam kemudian saya bersama Dawanto, Haris dan Ade serta Sastra Tiba di Jakarta, kita menjemput 1 orang rekan lagi untuk mendaki bersama, Brama. Proses packing telah selesai dan saat itu Sabtu (30/4). Kita beranjak dari Pasar Rebo menuju Stasiun Kereta Api di Senen. Butuh waktu 15 jam untuk sampai ke Kota Malang. Pilihan ini diambil untuk menghemat biaya perjalanan. 15 jam di kereta kita bertemu dengan 2 pendaki(Bintang dan Edi) yang kemudian ikut bergabung dan siap untuk menanjak bersama. Tiba di Malang pukul 11.00 wib, lamanya perjalanan dengan armada Majapahit cukup menyita tenaga kami, namun semangat untuk menjejakkan kaki di Mahameru tidak terbantahkan. Tanpa buang waktu kami langsung menuju tempat penyewaan mobil hardtop di daerah pasar Tumpang yang telah kami pesan sebelumnya. Butuh waktu sekitar 1,5 jam ke lokasi penyewaan Jeep. Setibanya di lokasi kita langsung disambut oleh owner Jepp, Mas Pras begitu ia dikenal disana. Prepare dan packing kembali dilakukan sembari menunggu rekan bersih-bersih diri sebelum memulai perjalanan lagi ke desa terakhir, Ranu Pane. Desa yang dihuni oleh suku setempat yang menjadi titik awal pendakian. Perjalanan dari Tumpang ke Ranu Pane menghabiskan hingga 2 jam, menggunakan jeep. Kita langsung disuguhi jalan yang menanjak dengan udara yang sejuk. Pemandanganpun cukup mengesankan, jalan dikelilingi oleh kebun warga yang menanam palawija disetiap lereng bukit. Sehingga tampak rapi dan indah. Di banyak titik juga terdapat jurang curam di sebelah kanan jalan, sedangkan sebelah kiri kita akan melihat Gunung Bromo yang juga dipisahkan oleh jurang yang curam. Di Ranu Pane udara sejuk mulai menyengat tubuh. Saya tidak tahu persis suhu yang ada di sana saat itu, namun dimungkinkan suhunya 5 hingga 7 derajat lebih dingin dibandingkan kota Jakarta dan Bengkulu sebagai tempat asal penulis.
Di Ranupane setiap pendaki yang sebelumnya sudah mendaftar wajib mengikuti briefing oleh petugas yang notabenenya adalah masyarakat asli sana. Kita dibekali oleh Mas Soni dengan pengetahuan singkat tentang Mahameru. Ya dimana setiap gunung hampir dipastikan memiliki cerita mistis dan lokasi yang dianggap memiliki kekuatan magis, ini dipercayai oleh penduduk setempat bahkan telah membudaya sejak dahulu. Sehingga setiap pendaki diminta untuk menghormati budaya-budaya tersebut. Peralatan dan perlengkapan mendaki yang dilarang, diminta agar ditinggalkan di pos briefing salah satunya tisu basah dan berbagai jenis cat. Pendaki juga dilarang membuat api selama proses pendakian. Sampah yang dihasilkanpun juga diwajibkan untuk turun bersama setelah proses pendakian usai, sebagai jaminan KTP leader grup pendaki wajib ditinggal di pos.
Usai briefing jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Kita langsung memulai perjalanan on foot dengan membawa carrier, full dengan muatan perlengkapan dan kebutuhan selama muncak, yang rencananya selama 72 jam atau 3 malam 3 hari. Estimasi perjalanan dari Ranupani ke tujuan awal yakni Ranukumbolo, selama 5 hingga 6 jam. Memasuki gerbang jalur menuju Sumeru kita langsung disuguhi jalan menanjak yang cukup panjang. Sehingga di titik awal inipun kita langsung merasakan letihnya mendaki. "Istirahat dulu woi," ucap salah seorang rekan saat perjalanan baru beberapa puluh meter dari gerbang awal. Di sini saya sendiripun merasakan hal yang sama, jalur berdebu ditambah dengan ramenya pendaki lain yang turun dan naik membuat sepanjang perjalanan kita dibonusi oleh debu-debu halus. Mental sempat down diawal perjalanan, karena bukan hanya debu dan jalur menanjak yang menjadi rintangan namun juga dinginnya udara gunung. Terlebih kita mulai mendaki pada sore jelang malam hari, sehingga udara sejuknya gunung sangat kental terasa. Sekitar 2 jam perjalanan kita baru tiba di pos 2. Di sini hari mulai gelap sehingga masing-masing dari kami mulai mengeluarkan jaket, headlamp, sarung angan dan baf sebagai pelindung dingin dan penerang jalan. Ada 4 pos yang harus di lalui untuk tiba di Ranukumbolo, danau yang diselimuti cerita mistis dan kekuatan magis dengan pemandangan yang sangat indah. Dengan semua keindahan yang disajikannya, Ranukumbolo diselimuti hawa dingin yang antimanstream. Khususnya bagi pendaki yang tidak berasal dari daerah perbukitan seperti kami. Dinginnya udara sangat menyukitkan, bahkan kaki dan tangan seakan mati rasa dan sekali-sekali salah satu satu rekan mengalami kram, pusing hingga tak hentinya menggigil. Mungkin lantaran kami tiba di Ranukumbolo terlalu malam, yaitu sekitar pukul 21.28 menit, sehingga tajamnya hawa dingin sudah cukup menjadi masalah bagi kami. Terlebih diantara kami berdelapan, rata-rata diisi oleh pendaki pemula. Termasuk penulis sendiri yang baru pertama kalinya menjejalkan kaki ke gunung. Uniknya gunung yang dipilih merupakan atap pulau jawa, karena memiliki ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut. Gunung yang juga dikenal dengan milik para dewa ini berada diurutan ke 3 sebagai gunung merapi tertinggi i Indonesia setelah Kerinci di Sumatra dan Rinjani dibagian timur Indonesia.
Tiba di Ranukumbolo saya tak bisa berbuat banyak, karena sudah menggigil kedinginan. Nyaris hipotermia, tetapi beruntung rekan pendaki cukup cekatan dan sudah pernah beberapa kali "menaklukkan" gunung. Ade, dia bersama dengan Bintang dan Edi, dibantu oleh Brama dan Sas secara tersistematis saling bantu mendirikan tenda. Sehingga saya bisa langsung istirahat di dalam tenda, dibungkus dengan sleeping bag agar dapat mengurangi rasa dingin yang menusuk tulang. Tidak hanya saya, salah satu rekan kami, Dawanto yang seharusnya menjadi leader kamipun juga drop lantaran dinginnya cuaca sehingga ia juga meringkuk di dalam tenda. Ia juga sempat muntah diperjalanan menuju Ranukumbolo
Beruntung, Ade bersama rekan lain dengan langsung memanfaatkan nesting untuk memasak nasi dan air wedang jahe yang jauh-jauh saya bawa dari Bengkulu. Setelah mendapat asupan makanan dan minuman, barulah rasa dingin sedikit berkurang sehingga bisa beristirahat.
Pagi harinya, sekitat pukul 06.30 (30/4) rasa dingin terasa masih menyiksa. Estimasi cuaca pada malammalam sebelumnya mencapai 2 derajat. Namun terdengar suara riuh di luar tenda yang memang juga tengah melakukan peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan ke Kalimati. Ya sedikitnya puluhan tenda dengan kapasitas kurang lebih 300an orang berada di Ranukumbolo pagi itu. Saya memberanikan diri keluar dari tenda untuk melihat suasana. Dan ternyataa, Waaw! View ke arah dua bukit seberang danau begitu indah. Terlebih beberapa menit kemudian Sunrise muncul yang disambut oleh petikan kamera oleh seluruh pendaki yang berada di lokasi. Ada yang foto bareng teman, pacar, ada juga yang hanya sibuk mengabadikan terbitnya matahari di celah dua bukit sebrang Ranu kumbolo.
Saya bersama rekanpun tak kalah gesitnya untuk mengabadikan momen tersebut. Bahkan rasa dingin yang selalu menjadi masalah buat sayapun sempat terlupakan! Waktupun berlalu, kita berencana untuk melanjutkan perjalanan ke Kalimati pada 09.00, namun karena terlalu asik foto bersama Sunrise dan danau Ranukumbolo alhasil packingpun molorr. Kita baru bisa melanjutkan perjalanan sekitar pukul 10.30.
Carrier kembali dipundak. Perjalanan ke Kalimati tidak lagi genap 8 orang seperti malam sebelumnya. Karena mas Edy, harus turun lebih awal karena menerima informasi bahwa anaknya sakit. Doi pamit turun kitapun kembali melanjutkan perjalanan yang diawali dengan doa bersama.
Baru mulai berjalan, kita langsung berhadapan dengan "Tanjakan cinta". Tanjakan fenomenal karena pernah menjadi salah satu spot penting di film 5cm ini cukup melelahkan. Kitapun tidak segan2 untuk break selang beberapa langkah saja. Namun sepertinya tak satupun diantara kita yang mempercayai mitos dan cerita magis tentang tanjakan ini. Konon menurut warga setempat jika pendaki menanjak tanpa menoleh ke belakang sambil memikirkan orang yang dicintainya maka cintanya akan terwujud. Tetapi ini khusus yang jomblo yee. Tetapi mana tahan menanjak tanpa lihat ke belakang. Di belakang sana ada danau Ranukumbolo lengkap dengan 2 bukit yang celahnya diisi oleh Matahari. Menanjak sedikit saya langsung keluarkan handphone untuk mengabadikan momen pendakian tanjakan cinta sekaligus memotret Ranukumbolo dari tanjakan cinta. "Masa bodoh dah dengan mitosnya tanjakan cinta, yang penting momen ini bisa ku abadikan." Batinku dalam hati. Rekan lainpun juga terlihat menoleh ke belakang berulang kali sambil minta difotoin atau selfie sendiri.
Penulis saat berada di Ranukumbolo, sebelum menanjak Bukit Cinta |
Ok, cukup dengan tanjakan cinta. Kita bertujuh berhasil melalui bukit kecil dengan sudut kemiringan yang cukup membuat ngos-ngosan pendaki. Bukan hanya kita, pendaki lainpun juga terlihat beberapa kali istiharat di pertengahan tanjakan sebelum kemudian berhasil melalui tanjakan ini. Dibalik tanjakan cinta view luar biasa kembali memanjakan mata kami. Betapa tidak dari jauh sudah terlihat cemoro kandang yang bersusun seakan simetris pada lereng bukit-bukit. Sedangkan diantara cemoro kandang dan tempat kami berdiri saat ini ada savana. Lahan yang cukup luas, diisi oleh puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu lavender berwarna keunguan.
Seakan lupa dengan beban belasan kilo dipundak kita kembali melanjutkan aksi norak saling foto. Karena selain ada savana, deretan pohon cemara dan bebukitan, di bagian jauh juga terlihat puncak Mahameru yang rencananya akan kita taklukkan. Puas mengabadikan momen, kitapun kembali melanjutkan perjalanan. Tiba di Cemoro Kandang kita break sejenak di pos peristirahatan. Di sini kembaki ada penduduk lokal yang menjual semangka dan gorengan. Semangka, buah ini bener-bener favorit karena perjalanan yang cukup jauh dan tentu membuat haus. Kandungan air disemangka sepertinya sangat berjodoh dengan kerongkongan yang kering kerontang. Selain itu kita selalu membeli semangka di setiap pos lantaran kita memang ingin sedikit membantu geliat ekonomi penduduk lokal. Karena selain penjual buah dan jajanan, mereka ini ternyata juga bagian dari tim evakuasi ketika terjadi suatu hal terhadap pendaki.
Dari Cemoro Kandang perjalanan kembali dilanjutkan. Trek tak lagi semulus savana, karena menuju ke Jambangan aksesnya kembali menanjak perlahan namun konsisten. Tiba di jambangan semangat kembali tumbuh karena disini ada spot foto (lagi). Tulisan Jambangan dari papan dengan latar langit biru dan puncak Mahameru yang dihiasi awan. Seakan tercharge kembali, staminapun kembali pulih karena tahu tujuan perjalanan semakin dekat. Kalimati jalurnya menurun, Jambanganpub kami tinggalkan. Selang 45 menit tibalah kami di Kalimati. Total perjalanan dari Ranukumbolo ke Kalimati sekitar 3-4 jam. Sedikit molor lantaran kita banyak break untuk cekrek. Jalan dikit cekrek foto, cekrek foto. Sehingga tiba di Kalimati pada pukul 14.00.
Jambangan |
Tiba di Kalimatipun kita belum mendirikan tenda dan bongkar carrier. Melainkan cekrek (lagi), dengan view cemara dengan latar belakang puncak Muhameru. Di sini (Kalimati) berbeda dengan Ranukumbolo (ya iyalah). Maksudnya berbeda, di Ranukumbolo sumber air begitu mudah di dapat. Sedangkan di Kalimati sumber air cukuo jauh dari kawasan tenda pendaki. Yaitu 1 jam perjalanan ke sumber mani. Karena sumber mani merupakan sumber mata air satu-satunya, maka pendaki ditekankan agar tidak mengambil air sendirian terkhusus pada malam hari. Karena semua penghuni hutanpun juga mengambil air pada lokasi yang sama, termasuk macan tutul yang dipercaya masih mendiami wilayah ini.
Break, pasang tenda dan bongkar logistik dilanjutkan dengan pengambilan air. Sastra dan Bintang yang mengajukan diri untuk mengambil air ke sumber mata air. Sejam kemudian semua sudah siap, chef Juna panggilan baru Bram saat masa pendakian langsung memainkan perannya yakni memasak. Logistik yang tersediapun diolah bersama dengan Dawanto. "Usai makan kita harus istirahat karena summit attack ke puncak Muhaneru itu dimulai pada 23.00 atau 00.00 nanti malam" ujar Dawanto mengingatkan kami. Kamipun sepakat untuk istirahat. Pukul 23.00 malam rekan-rekan kembali memasak dan kita makan bersama sebelum muncak.
12.20 (1/5) kitapun berangkat muncak. Perjalanan menuju tanah tertinggi di pulau jawa ini tidak lupa diawali dengan doa bersama. Summitpun dimulai, seakan drama, namun cuaca pada malam itu sangatlah bersahabat. Dalam artian tidak ada badai dan hujan. Sedangkan hawa dinginnya ternyata lebih dingin dari Ranukumbolo. Kita semua optimis bahwa rasa dingin bisa dilawan ketika sudah mulai perjalanan. Ternyata kita semua salah. Hawa dingin semakin terasa dan menusuk tulang. Hidungpun mulai mengeluarkan cairan, mata berair. Kondisi diperparah jika berkacamata seperti saya. Karena dinginnya malam membuat kacamata berembun dan sulit dipakai untuk melihat. Tantangan Summit attack tidak hanya sampai disini. Karena sepanjang jalur, debu khas areal gunung merapi beterbangan lantaran bayaknya pendaki yang Summit.
2 jam perjalanan kita tiba di Arcopodo. Lokasi sakral yang menandakan bahwa perjalanan ke puncak semakin dekat. Sesaat kemudian kita melewati cemoro tunggal. Di sini debu semakin banyak. Karena tidak lagi ada pohon yang tumbuh. Trek dan jalur yang harus dilalui murni pasir dan, bebatuan dengan sudut kemiringan yang tinggi. Disini sudah terlihat banyak pendaki yang lusuh, bahkan ada juga yang berpapasan turun karena tidak mampu mencapai puncak. Sedangkan kita ber7 tetap konsisten untuk mencapai puncak. Ade membawa logistik berupa roti dan air minum. Sedangkan Dawanto satu jam dari Arcopodo sudah memiliki tugas Ektrak untuk membantu Haris menitih jalur dengan menggunakan tali. Ya, haris butuh bantuan tim, karena ia memiliki tubuh yang bongsor layaknya ian di film 5cm. Sejam kemudian Dawantopun mulai kehabisan stamina. Sehingga tugas beralih ke Bintang. Ia memiliki tubuh tertinggi dan otot yang lebih besar dari kami semua. Capek, stamina mulai terkuras, dingin mulai berkurang tepat pukul 05.00 semangat kembali muncul. Seakan menjadi energi baru. Karena suasa mulai terang dan sunrisepun muncul. Pujian kepada sang penciptapun terucap. Sunrise dari lereng Muhameru! Tiada duanya.
Bebukitan yang berwarna hijau kebiruan dilapisi kabut yang semakin menipispun juga memanjakan mata. Dari sini puncak terlihat semakin dekat, sehingga kita kembali melanjutkan perjalanan. Jarak yang dilihat ternyata cukup menipu, karena masih dibutuhkan 1 jam lagi untuk sampai ke puncak. Tepat 06.30 (1/5) puncak akhirnya berhasil capai. Perjalanan selama 6 jam menuju puncak akhirnya terbayar sudah. Tetapi stamina tidak bisa menipu tubuh, kendati tiba dipuncak dan merasa senang luar biasa namun rasa capek lelah dan letih masih menyelimuti. Setelah istirahat sebentar kita dikejutkan dengan suara dentuman dari arah kawah Mahameru yang diikuti oleh asap putih yang tebal ke angkasa. Momen inipun tak luput dari jepretan kamera. Kitapun akhirnya berpose di puncak. Berkat Dawanto danan Bintang, Harispun bisa ikutan nongkrong di puncak tertinggi di pulau jawa.
1,5 jam di puncak kitapun turun ke Kalimati tempat tenda ditinggalkan. Hanya butuh 1,5 jam sajadi untuk turun. Karena treknya jauh lebih mudah dan kita bisa berski pasir saat turun. Berbeda 180 derajat ketika muncak yang butuh hingga 6 jam perjalanan. Sedangkan debu tetap sama banyak saat muncak maupun turun. Sehingga seluruh pendaki yang muncak semuanya terlihat lusuh dan kusam. Jelang siang kita telah berkumpul ditenda. Perjuangan turun tidak seberat pendakian meskipun dalam perjalanan turun kita sempat kehabisan air mineral dan roti. Siangnya Ade pamit turun gunung lebih awal dari kita semua. Karena harus mengejar pulang ke Bengkulu. Sehingga hanya kami ber enam yang masih bertahan. Sorenya kitapun turun ke Ranukumbolo. Kembali mendirikan tenda dan menginap 1 malam sebelum kemudian turun pada pagi harinya. (Itulah kisah kami, para pendaki pemula yang berhasil muncak bersama) (##)
Puncak Mahameru 3.676 Mdpl |